1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha

Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.

Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India telah mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan hidup di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi pertapaan dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode berikutnya, masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari kaum Brahmana.

Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama dari kaum Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa yang kekal. Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu dengan alam semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan meditasi yoga.

Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum materialis. Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut kaum ini, jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah kematian, kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Kebahagiaan kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup. Mereka yang mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk menikmati kebahagiaan duniawi.

Perkembangan selanjutnya, masyarakat India mengenal tradisi pertapaan keras dari kaum Jaina. Kaum ini percaya bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki jiwa yang suci dan bersih dalam dirinya. Jiwa yang murni ini menjadi kotor karena perasaan-perasaan indera. Menurut kaum ini, kebahagiaan kekal dapat dicapai bila dapat membunuh perasaan-perasaan indera melalui cara-cara penyiksaan diri.

2. Masa Kehidupan Sang Buddha

Pangeran Siddharta dilahirkan dalam sebuah keluarga kerajaan. Ayahnya adalah seorang raja yang memerintah di kota Kapilavasthu. Hidup dalam keluarga istana, sang pangeran bergelimangan dengan kesenangan-kesenangan duniawi.

Kehidupan dalam kebahagiaan duniawi sangat didambakan banyak orang. Kekayaan yang berlimpah, kekuasaan yang tinggi, istri yang cantik, dan segala kemewahan duniawi lainnya. Kehidupan yang serba berlebihan di mana segala keinginan dapat terpenuhi ternyata tidak membuat sang pangeran berbahagia. Setelah sekian lama menikmati kehidupan duniawi yang menyenangkan dalam istana, suatu perjalanan keluar istana yang untuk pertama kalinya dilakukan dalam masa hidupnya segera merubah seluruh jalan hidupnya.

Kejadian di luar istana yang belum pernah ditemuinya selama hidup di dalam istana: orang tua renta yang berjalan tergopoh-gopoh dengan bantuan sebuah tongkat, orang sakit parah yang sedang merintih kesakitan dalam pembaringan, orang mati yang diusung menuju tempat kremasi, dan seorang pertapa suci yang sedang bermeditasi dengan heningnya; keempat kejadian yang dijumpainya ini pada kesempatan berbeda, telah membuat dirinya merenung dan terus merenung akan hidup ini: Mengapa harus ada usia tua? Mengapa harus ada masa sakit? Mengapa harus ada kematian? Mengapa harus ada penderitaan? Apa arti hidup ini? Dapatkah manusia terbebas dari usia tua, sakit dan mati?

Demikianlah batinnya diliputi dengan segala pergolakan yang akhirnya puncak pergolakan pada usia 29 tahun di mana Beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan suci, seperti halnya kejadian keempat yang telah dilihatnya: seorang pertapa suci yang sedang tenang bermeditasi. Beliau memutuskan untuk mengikuti jejaknya dalam menemukan jawaban atas semua hal yang menyebabkan penderitaan manusia. Beliau bertekad untuk menemukan obat penderitaan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan karena usia tua, sakit dan mati. Masa ini disebut sebagai Masa Pelepasan Agung.

Pangeran Siddharta telah membuktikan bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari kehidupan duniawi bukanlah kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan duniawi bersifat sementara. Setelah kebahagiaan lenyap, muncullah penderitaan. Demikianlah dalam hidup ini, suka dan duka datang silih berganti.

Beliau yakin adanya suatu kebahagiaan yang bersifat abadi. Dalam usaha pencarian, Beliau mengembara dan berturut-turut berguru kepada beberapa orang guru meditasi. Pertapa Gautama, demikianlah kemudian Beliau dikenal, mempelajari berbagai ilmu meditasi. Dengan cepat, Beliau menyamai kepandaian gurunya. Demikianlah, Beliau berpindah dari satu guru ke guru lainnya dan dengan segera pula segala ilmu dari gurunya dapat dikuasainya. Namun, usaha Beliau menemukan obat penderitaan tetap belum berhasil.

Dalam meditasi, Beliau berhasil menemukan adanya suatu bentuk kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan dalam meditasi ini adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual berbentuk lebih halus. Tetapi, Beliau menyadari bahwa kebahagiaan ini belumlah sempurna, masih bersifat sementara.

Akhirnya, Beliau mencoba menemukan sendiri Jalan Pembebasan tersebut, yang membebaskan manusia dari penderitaan. Beliau mulai mempraktekkan pertapaan dengan menyiksa diri. Setelah bertahun-tahun bertapa menyiksa diri membuat tubuh Beliau kurus kering. Hampir saja Beliau mati karena tubuhnya yang tinggal kulit pembalut tulang. Namun, Jalan Pembebasan tidak juga diperolehnya. Jawaban atas semua penderitaan tetap tidak didapatkannya.

Hingga pada suatu saat, Beliau disadari oleh serombongan pemain kecapi yang sedang lewat sambil berbincang-bincang menasehati yang lain:
"Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jika terus dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah suaranya. Jika tali senar ini dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus dikendorkan, lenyaplah suaranya."

Kata-kata ini ternyata telah menyadari Pertapa Gautama bahwa di dalam tubuh yang lemah karena menyiksa diri, tidak akan ditemukan pikiran yang jernih. Bagaimana Pengetahuan tentang Pembebasan dapat diperoleh tanpa pikiran yang jernih?

Pertapa Gautama akhirnya memutuskan untuk bangkit dari meditasinya. Beliau ingin mengakhiri cara bertapa menyiksa diri dan bergegas untuk mandi membersihkan tubuhnya. Namun, begitu Beliau bangkit, tubuhnya yang sedemikian lemahnya tak kuat menopang dirinya, yang membuatnya segera terjatuh pingsan.

Saat itu, seorang pemuda gembala bernama Nanda sedang lewat dan segera menolongnya. Ia memberikannya semangkuk air tajin. Ketika Beliau sadar dari pingsannya, Beliau segera mencicipi air tajin tersebut, dan akhirnya secara perlahan kesehatannya pulih kembali.

Pertapa Gautama pun akhirnya meninggalkan kehidupan menyiksa diri. Beliau telah membuktikan bahwa kehidupan menyiksa diri tidak akan membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi, Jalan Pembebasan, Pencerahan Sempurna.

Beliau kemudian memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi sambil mengumandangkan kebulatan tekadnya dengan berprasetya: "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulangku jatuh berserakan, tetapi Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Dikisahkan bahwa di dalam meditasinya, pertapa Gautama dihantui perasaan-perasaan bimbang dan ragu. Pikiran-pikiran seperti keinginan nafsu, keinginan jahat, ketakutan, keragu-raguan dan kemalasan mencoba menggagalkan usahanya dalam meraih Pengetahuan mengenai Pembebasan. Hampir saja Beliau dikalahkan oleh Mara, penggoda yang dahsyat itu. Namun dengan keteguhan hati Beliau yang membaja, akhirnya membuat-Nya berhasil menaklukkan Sang Mara.

Pertapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna. Beliau telah menjadi Buddha. Peristiwa penting ini terjadi pada saat malam terang purnama di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun. Beliau telah menyadari tentang asal mula penderitaan dan jalan untuk melenyapkannya. Dhamma inilah yang akan diajarkan-Nya kepada seluruh umat manusia agar kita semua dapat mengetahui hakekat sesungguhnya dari kehidupan ini dan berusaha untuk melenyapkan penderitaan sehingga kebahagiaan tertinggi dapat kita raih.

Selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan dhamma kepada umat manusia. Melalui pengalamannya sendiri, dengan usaha dan perjuangan Beliau sendiri, dhamma telah ditemukannya, dan telah diajarkannya pada kita semua.



3. Perkembangan Agama Buddha

Sang Buddha pertama kali mengajarkan dhamma kepada lima orang pertapa di taman rusa Isipatana, Sarnath. Beliau membimbing mereka menuju Arahat. Arahat adalah gelar bagi mereka yang telah melatih diri dan berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia. Seorang Arahat telah terbebas dari kekotoran batin duniawi. Mereka telah bersih dari keserakahan, keinginan yang disebabkan keakuan, kebencian, dan ketidaktahuan akan Jalan Pembebasan.

Dengan sifat-sifat tanpa cela yang dimilikinya, seorang Arahat adalah pelestari dhamma terbaik untuk meneruskan dhamma Sang Buddha di kemudian hari.
Setelah Sang Buddha Parinibbana, para Arahat kemudian berkumpul untuk menghimpun ajaran-ajaran Beliau yang telah disampaikan kepada banyak orang yang berbeda, di waktu dan tempat yang berlainan. Akhirnya, terhimpunlah Kitab Suci Agama Buddha.

Kitab suci berbahasa Pali dinamakan Tipitaka sedangkan kitab suci berbahasa Sansekerta dinamakan Tripitaka. Tipitaka atau Tripitaka berarti tiga keranjang. Nama ini digunakan karena kitab-kitab suci yang tersusun berhasil terkumpul sebanyak tiga keranjang.

Secara kuantitas, kitab suci agama Buddha adalah kitab suci yang paling tebal di antara semua kitab suci yang ada di dunia. Secara keseluruhan, ajaran-ajaran Sang Buddha dan para siswa-Nya yang telah Arahat, jika telah dibukukan diperkirakan memiliki ketebalan berkisar antara puluhan hingga puluhan ribu kali lipat lebih tebal dari Kitab Injil yang telah dikenal umum.

Ajaran Sang Buddha yang sedemikian luasnya menyebabkan tumbuhnya banyak tradisi dan aliran dalam agama Buddha. Mereka mencoba menemukan suatu cara praktis yang mudah untuk mempraktekkan ajaran Sang Buddha yang sangat luas itu dengan penekanan pada sutra-sutra tertentu dalam bagian Kitab Suci Agama Buddha.

Agama Buddha dipraktekkan meluas di India setelah Sang Buddha Parinibbana. Tradisi Buddhis pun terbentuk di wilayah yang sekarang bernama Pakistan dan Afghanistan, dan mengakar di Asia Tengah pada awal Masehi. Invansi Islam di kemudian hari melemahkan agama ini pada sub-benua India dan Asia Tengah.

Dari India, agama Buddha menyebar ke SriLanka. Dari India dan SriLanka, agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara dan sekarang berakar kuat di Thailand dan Myanmar. Pemerintahan komunis di beberapa negara Asia telah menekan perkembangan agama Buddha. Namun, sejak abad modern, intelektual Barat mulai tertarik dengan agama Buddha. Banyak vihara Buddhis, pusat-pusat Dharma, dan berbagai tempat pelatihan meditasi telah dibangun di negara-negara Barat.

Dari Asia Tengah, agama Buddha pertama kali masuk ke China, kemudian agama Buddha dibawa dari India. Banyak peziarah China membawa kekayaan naskah agama Buddha dari India ke China. Dalam masyarakat China, agama Buddha mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Dari China, agama Buddha menyebar ke Vietnam dan Korea. Dari Korea, agama Buddha mencapai Jepang. Dari Jepang, agama Buddha menyebar ke negara-negara Barat.
Agama Buddha pertama kali diperkenalkan ke Tibet dari Nepal (India Utara) dan China. Dari Tibet, agama Buddha menyebar ke Mongolia dan Manchuria. Sejak China Komunis mencaplok Tibet, ribuan rakyat Tibet terpaksa melarikan diri ke pengasingan di India dan Nepal, dan telah membangun kembali vihara-vihara di India. Banyak pemimpin spiritual di Tibet pergi ke negara-negara Barat dan Asia, yang menyebabkan pusat-pusat Dharma bermunculan.

4. Agama Buddha di Indonesia

Di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit, agama Buddha berkembang dengan pesat di Indonesia. Bahkan, Sriwijaya menjadi pusat pendidikan Buddhis terkenal pada masa itu.

Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi Buddhis seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa kita yang sangat tinggi pada saat itu.

Pada masa pemerintahan Majapahit, agama Buddha dan Hindu dapat berkembang bersama-sama. Toleransi beragama pada saat itu sangat tinggi. Hal ini terbukti seperti yang tertulis dalam Kitab Sutasoma, karya seorang pujangga besar Buddhis saat itu, Mpu Tantular. Dalam kitab Sutasoma, terdapat perkataan "Bhinneka Tunggal Ika" yang digunakan saat ini dalam lambang negara kita.

Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit dan masa penyebaran agama Islam di Indonesia, perkembangan agama Buddha di Indonesia mengalami kemunduran. Pada masa kolonial Belanda, agama Buddha berada antara ada dan tiada.

Kemudian pada abad ke-20, sejak diundangnya bhikkhu Narada Thera dari SriLanka ke Indonesia, agama Buddha secara perlahan mulai berkembang kembali. Bhikkhu Narada Thera banyak memberikan pengetahuan Dharma dan informasi mengenai agama Buddha ke seluruh pelosok Nusantara.

Sejak itulah agama Buddha berkembang kembali di Indonesia dan dewasa ini sedang berada dalam tahap pembinaan masyarakat Buddhis Indonesia yang berlandaskan Pancasila untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

5. Agama Buddha di Dunia

Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan setempat di mana agama Buddha tumbuh tidak mungkin dapat dihindari. Agama Buddha mengambil bentuk luar dari kebudayaan setempat yang ada dan menyesuaikannya dengan ajaran agama Buddha.

Agama Buddha berasal dari India. Kebudayaan India sangat mempengaruhi bentuk luar agama Buddha. Kemudian, agama Buddha berkembang di Tibet dan China. Agama Buddha pun mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat di Tibet dan China.

Terkadang perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan setempat menyebabkan batas yang kurang jelas antara praktek agama Buddha dengan praktek bukan agama Buddha. Sebagai contoh, perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan China.

Sebelum perkembangan agama Buddha di China, masyarakat China sangat dipengaruhi ajaran filsafat dari Khonghucu dan kepercayaan Taoisme, yang keduanya merupakan kebudayaan asli setempat. Khonghucu sangat menekankan tata cara persembahyangan dan mengutamakan ajaran bakti. Dalam perkembangannya, agama Buddha menyesuaikan dengan menitikberatkan Sutra Bakti, sebagai pelengkap nilai-nilai budaya China. Segala tata cara dan upacara formal juga sangat ditekankan pada vihara-vihara Buddhis.

Pada abad modern ini, agama Buddha mulai berkembang di negara-negara Barat. Banyak cendekiawan Barat yang tertarik dan berminat untuk mempelajari agama Buddha. Mereka, setelah belajar agama Buddha, menyatakan bahwa di dalam agama Buddha, mereka menemukan sesuatu yang logis dan ajaran bermanfaat sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Ternyata agama Buddha memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan cendekiawan Barat. Umat Buddha juga boleh berbangga hati dengan semakin diterimanya agama Buddha di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Banyak pula ilmuwan Barat menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar agama Buddha tidak bertentangan bahkan sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah Sains modern. Dengan demikian, perkembangan dan kemajuan Buddhadharma di berbagai wilayah di belahan dunia di masa mendatang dapatlah diharapkan.